Dalam membuat suatu perjanjian apakah penting untuk mencantumkan status perkawinan ? Disatu sisi menganggap mencantumkan identitas status perkawinan dalam perjanjian adalah tidak penting namun disisi lain pencantuman identitas status perkawinan adalah penting.
Akibat hukum sebuah perkawinan yang sah
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa
Perkawinan yang dilakukan secara sah menurut agama dan kepercayaannya masing-masing dan telah didaftarkan pada kantor cacatan sipil menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami dan istri. Hak dan kewajiban suami dan istri dalam hukum perkawinan, hukum keluarga dan hukum waris.
Fungsi status pernikahan dalam sebuah perjanjian
Dalam asas hukum perkawinan menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 bahwa hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan bermasyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatu dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan bersama suami istri. Demikian juga dalam Pasal 77 Kompilasi Hukum Islam bahwa kemitraan suami-isteri Merupakan asas kekeluargaan atau kebersamaan yang sederajat, hak dan kewajiban Suami Isteri.
Oleh karena hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami maka salah satu pihak dalam melakukan suatu tindakan hukum maka hal tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pasanganya jika hal itu menyangkut hak yang dimiliki secara bersama (seimbang).
Contoh : Seorang suami yang hendak menjual kendaraan bermotor (mobil) yang mana mobil tersebut diperoleh pada masa pernikahan, maka suami tersebut harus mendapatkan persetujuan dari istrinya meskipun uang untuk membeli mobil tersebut adalah merupakan dari penghasilannya (suami). Oleh karena harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama maka istri memiliki hak yang sama (seimbang) atas mobil tersebut sehingga si suami harus mendapatkan persetujuan dari istrinya.
Dan jika si suami yang akan menjual mobil tersebut mencantumkan status pernikahannya dengan status menikah maka adalah suatu kewajiban bagi sipembeli untuk menanyakan persetujuan dari istrinya untuk menjual mobil tersebut.
Dari contoh diatas, jika si suami tersebut tidak mencantumkan status pernikahannya dalam perjanjian tersebut maka seolah-olah si suami tersebut memiliki hak penuh atas mobil tersebut tanpa perlu mendapatkan persetujuan dari istrinya. Disinilah fungsi dari pada status pernikahan tersebut yaitu untuk melihat apakah diperlukan suatu persetujuan dari (suami atau istri) terhadap apa yang diperjanjikannya tersebut dalam kaitannya dengan hak bersama (baik dalam hukum perkawinan, hukum keluarga maupun hukum waris).
Perjanjian Dapat dibatalkan
Dalam Putusan MA RI No. 209 K/PDT/2000 Tanggal 26 Februari 2002 bahwa Putusan batal demi hukum atas perjanjian kredit tersebut disebabkan tidak terpenuhinya suatu sebab yang halal sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 BW. Objek yang diperjanjikan adalah harta bersama sehingga apabila hendak dijaminkan/dialihkan kepada pihak lain oleh suami harus mendapatkan persetujuan dari istri sebagai pihak yang berhak.
Referensi
-
UU Nomor 16 Tahun 2019 Perubahan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
- Kompilasi Hukum Islam
- Putusan MA RI No. 209 K/PDT/2000 Tanggal 26 Februari 2002 perihal perkara harta bersama