Dalam sebuah perjanjian pasti pernah kita temukan syarat dan ketentuan atau klausula mengenai pengecualian tanggung jawab. Pengecualian tanggung jawab ini pada umumnya dibuat oleh kreditur sebagai pihak yang memiliki posisi dominan atau kuat dalam menentukan isi perjanjian sehingga debitur hanya bisa menerima atau menolak perjanjian tersebut.
Prof. Kusumah Atmadja dalam analisis tentang Standar Kontrak dan Klausula Pengecualian Pertanggung-jawaban terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 3416 L/PDT/1985 tanggal 26 Januari 1987 mengatakan ciri umum suatu kontrak standar ialah adanya klausula yang memuat pengecualian pertanggungan jawab (exoneratie clausules ataupun exclusion clauses) biasanya untuk kepentingan pemberi jasa atau produsen.
Menurut UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
H.P Panggabean dalam buku yang berjudul Penyalahgunaan keadaan sebagai alasan (baru) untuk pembatalan perjanjian mengatakan bahwa salah satu indikasi tentang adanya indikasi penyalahgunaan keadaan ekonomi adalah apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan-pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian aquo dengan syarat-syarat yang memberatkan.
Menurut penulis, pengecualian tanggung jawab dalam perjanjian terdapat dalam tiga bentuk, yaitu:
1. Pembatasan tanggung jawab;
Pembatasan tanggung jawab atau sering juga disebut dengan limitation of liability merupakan bentuk pengecualian tanggung jawab. Pengecualian tanggung jawab dalam bentuk membatasi tanggung jawab kreditur terhadap kerugian yang dialami oleh debitur akibat kesalahan debitur itu sendiri dapat dibenarkan, contohnya "garansi tidak berlaku apabila terjadi kerusakan yang disebabkan oleh kelalaian pemakai". Pembatasan tanggung jawab yang seperti ini sesuai dengan salah satu prinsip tanggung jawab yaitu tanggung jawab berdasarkan atas unsur kesalahan (liability based on fault), yang mana seseorang dapat diminta pertanggung jawabannya berdasarkan unsur kesalahan yang dilakukannya. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan terdapat dalam pasal 1365, 1366 dan 1367 KUH Perdata.
Pengecualian tanggung jawab untuk menghindari tanggung jawab terhadap tuntutan ganti rugi dari debitur dalam bentuk pembatasan tanggung jawab merupakan perbuatan melanggar undang-undang, contohnya dalam perjanjian pengiriman barang "ganti rugi hanya terhadap kehilangan barang tidak termasuk kerusakan", perjanjian jual-beli "Garansi berlaku selama 1 tahun tidak termasuk baterai dan charger" dll. Kreditur dengan membatasi tanggung jawab untuk menghindari kewajibannya telah merampas hak-hak daripada sidebitur dan telah menyalahgunakan keadaan lemah atau ketidakberdayaan sidebitur. Dalam pembatasan tanggung jawab yang seperti ini terdapat itikad tidak baik yang dilakukan oleh kreditur kepada debitur. Yang mana hal ini bertentangan dengan pasal 1338 KUH Perdata.
2. Pengalihan tanggung jawab
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata pengalihan memiliki arti perbuatan mengalihkan; pemindahan; penggantian; penukaran; pengubahan.
Pengalihan tanggung jawab merupakan perbuatan mengalihkan, memindahkan, mengganti, menukar atau mengubah tanggung jawab kepada pihak lain. Contoh pengalihan tanggung jawab ini dapat kita lihat pada perjanjian perparkiran yang menyatakan bahwa pengelola perparkiran tidak bertanggung atas kehilangan kendaraan yang diparkir, sehingga kerugian akibat hilangnya kendaraan pada area perparkiran merupakan tanggung jawab daripada sipemilik (pemakai jasa atau layanan perpakiran). Pengalihan tanggung jawab yang mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab diatas sangat merugikan sipemakai jasa atau layanan perparkiran (konsumen) yang mana kendaraan yang diparkir berada dalam kekuasaan sipengelola perparkiran (Pasal 1706 KUH Perdata).
Oleh undang-undang pengecualian tanggung jawab dalam bentuk pengalihan tanggung jawab yang merupakan tanggung jawabnya dengan cara atau alasan apapun adalah perbuatan yang dilarang.
Dalam pasal 18 huruf (a) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen secara tegas melarang pencantuman klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha.
Menurut hemat penulis bahwa pelarangan pencantuman klausula yang menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha adalah sudah tepat karena tanpa dicantumkannya pun klausula pengalihan tanggung jawab dalam perjanjian, maka tanggung jawab itu akan berakhir sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang, sesuai dengan jangka waktu yang diperjanjikan, atau berakhirnya perjanjian. Seperti contoh perparkiran diatas, bahwa tanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan atas mobil yang diparkir akan beralih kepada sipemilik kendaraan ketika sipemakai jasa dan layanan perparkiran keluar dari perparkiran.
Untuk perjanjian yang mencantumkan klausula pengalihan tanggung jawab maka hal itu oleh undang-undang klausula tersebut batal demi hukum atau klausulua tersebut dianggap tidak pernah ada. Maka ketentuan mengenai tanggung jawab tetap berpedoman kepada perjanjian yang disepakati (tidak bertentangan dengan undang-undang).
3. Pelepasan tanggung jawab;
Pelepasan tanggung jawab adalah perbuatan melepaskan atau membebaskan salah satu pihak dari tuntutan pihak lain.
Dalam suatu perjanjian baku (sepihak) pencantuman klausula pelepasan tanggung jawab bertujuan untuk membebaskan kreditur dari tuntutan ganti rugi yang dilakukan oleh debitur apabila debitur bertindak diluar ketentuan (undang-undang) atau perjanjian yang telah disepakati atau keadaan yang tidak dikehendaki kreditur (force majure). Pencantuman klausula pelepasan tanggung jawab ini pun hanya terjadi sepihak yaitu oleh pihak kreditur, sedangkan debitur tidak memiliki hak untuk dilepaskan dari tanggung jawab jika kreditur bertindak diluar ketentuan (undang-undang) atau perjanjian yang telah disepakati atau keadaan yang tidak dikehendaki kreditur (force majure). Sehingga hal ini dipandang sebagai suatu perjanjian yang tidak seimbang.
Klausula pelepasan tanggung jawab dalam perjanjian selain sebagai bentuk akibat dapat juga bertujuan sebagai peringatan kepada debitur untuk tidak bertindak diluar ketentuan (undang-undang) atau perjanjian yang telah disepakati. Klausula ini seharusnya berlaku untuk kedua belah pihak, baik kreditur maupun debitur karena baik kreditur maupun debitur dapat bertindak diluar ketentuan atau perjanjian yang disepakati.
Menurut Hans Kelsen bahwa seseorang bertanggung jawab secara hokum atas perbuatan tertentu atau dia memikul tanggung jawab hokum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, Tanggung Jawab adalah merupakan tanggung gugat yang merujuk pada posisi seseorang atau badan hokum yang dipandang harus membayar suatu bentuk kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hokum atau tindakan hokum
Referensi :
- Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
- Mariam Darus, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata buku ketiga, 2015
- Ahmadi Niru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, 2017
- H.P Panggabean, Penyalahgunaan Kedaan sebagai alasan (baru) untuk pembatalan kontrak, 2010